Sabtu, 13 November 2010

Penggunaan Viterna untuk peternakan

1. Bagaimana Mekanisme kerja Viterna dalam menunjang pertumbuan dan produktifitas ternak?
Jawab:
Viterna adalah suplemen nutrisi murni yang siap diserap oleh dinding usus halus sehingga tidak diperlukan lagi proses pencernaan terhadap Viterna. Setelah Viterna diserap oleh dinding usus halus akan mengalami metabolisme yang normal seperti nutrisi yang diperoleh dari pakan. Penambahan Viterna ke dalam ransum bearti menambah kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan.
2.Untuk ayam pedaging berapa dosis dan cara pemberiannya?
Jawab:
Cara pemberian melalui air minum dengan dosis 1-2cc/liter air minum(diberikan dari DOC masuk hingga panen).

3.Bagaimana aplikasi pemberian Viterna pada ayam petelur(layer), apakah tidak berpengaruh negatif terhadap produksi telur karena jika terjadi kegemukkan produksi turun?
Jawab:
Viterna merupakan produk yang diformulasikan untuk memacu pembentukan protein tubuh, jadi lebih spesifik untuk ternak yang menghasilkan produksi daging, namun demikian juga dapat bermanfaat untuk ayam petelur, hanya apliasinya harus tepat. untuk ayam petelur yang sudah produksi, dosisnya hanya 1cc/liter air minum/3-5hari sekali. hal itu untuk menghindari terjadinya obesitas atau kegemukkan ayam yang dapat menurunkan produksi. untuk masa pembesaran hingga menjelang masa produksi dosis dan aplikasinya dapat disamakan dengan ayam pedaging.
4. Apa manfaat Viterna pada sapi potong?
Jawab:
Beberapa pengaruh positif pemberian Viterna dalam ransum sapi Potong adalah:
Peningkatan nafsu makan sapi hal ini disebabkan terjadinya peningkatan aktifitas enzim-enzim penrencanaannya,peningkatan pembentukan daging sehingga pertambahan badan perhari (ADG=average Daily Gain) menjadi meningkat terutama pada sapi dengan ransum yang kekurangan nutrisi berkualitas(misalnya hanya diberi jerami padi dan rumput liar). pengurangan pembentukan lemak tubuh baik lemak daging(marbeling) maupun lemak yang disimpan di jaringan dan dibawah kulit (gajih) dan daya tubuh meningkat karena kelengkapan nutrisi yang dikonsumsi.
5. Bagaimana manfaat VITERNA pada ternak ayam pedaging atau Broiler?
Jawab:
Manfaat yang diperoleh adalah mempercepat pertumbuhan ayam sehingga masa panen lebih cepat, menurunkan angka FCR sehingga menurunkan proposi biaya pakan, meningkatkan daya tahan tubuh ayam, peningkatan kualitas daging dalam hal penigkatan kadar protein, penurunan kadar lemak dan kolesterol serta rasa yang lebih enak, kotoran lebih kering dan bau berkurang sehingga menurunkan populasi lalat.
6. Bagaimana pengaruh VITERNA terhadap kualitas daging, parameter apa yang digunakan?
Jawab:
VITERNA dapat menigkatkan produktivitas ternak baik secara kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas ditandai dengan pertumbuhan ternak yang lebih cepat sehingga masa panen dapat dipersingkat. Secara kualitas diukur dari kadar protein dan kolesterol daging serta rasanya. Hasil analisa laboratorium dari percobaan di lapangan menunjukkan bahwa:
- Daging tanpa VITERNA :
  kadar protein : 20,78 % dan kadar kolesterol 206,78 mg/100 gr
- Daging dengan VITERNA :
kadar protein : 22,37 % dan kadar kolesterol 193 mg/100gr
Sehingga dapat disimpulkan daging dengan VITERNA lebih baik dan sehat dari pada yang tidak menggunakan VITERNA disamping itu dengan kadar protein yang lebih tinggi maka secara fisik tekstur daging lebih padat dan rasanya lebih enak hampir menyerupai rasa daging ayam jawa atau kampung.
7. Apakah yang disebut dengan FCR dan Bagaimana pengaruh pemberian VITERNA FCR tersebut?
Jawab:
FCR adalah singkatan dari Feed Convertion Ratio merupakan satuan untuk menghitung efisiensi pakan pada budidaya pembersaran atau penggemukan.
Rumus menghitungnya adalah : FCR = Jumlah pakan : Bobot hidup total
Semakin kecil angka FCR maka semakin baik pakan yang diberikan. FCR juga dapat digunakan untuk memprediksi besarnya keuntungan atau kerugian karena biaya pakan mempunyai proposi terbesar dalam struktur pembiayaan budidaya, yaitu bisa mencapai 80%

KAJIAN PESTISIDA TERHADAP LINGKUNGAN DAN KESEHATAN SERTA ALTERNATIF SOLUSINYA

Dalam proses intensifikasi sekarang ini berbagai kendala sosial-ekonomi dan teknis bermunculan. Masalah organisme pengganggu tanaman (OPT, hama – penyakit – gulma) yang mengakibatkan penurunan dan ketidakmantapan produksi belum dapat diatasi dengan memuaskan. Kehilangan hasil akibat OPT diperkirakan 40 – 55 %, bahkan bisa terancam gagal.

Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah bagaimana cara mengatasi masalah OPT tersebut dengan pestisida sintetis. Di satu pihak dengan pestisida sintetis, maka kehilangan hasil akibat OPT dapat ditekan, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di pihak lain, tanpa pestisida kimia akan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang toleransi.

Pestisida secara luas diartikan sebagai suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah laku, bertelur, perkembang biakan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT. Tidak kita pungkiri bahwa dengan pestisida sintetis telah berhasil menghantarkan sektor pertanian menuju terjadinya “revolusi hijau”, yang ditandai dengan peningkatan hasil panen dan pendapatan petani secara signifikan, sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan pada tahun 1986. Dalam revolusi hijau target yang akan dicapai adalah berproduksi cepat dan tinggi, sehingga diperlukan teknologi masukan tinggi diataranya penggunaaan varietas unggul, pemupukan berat dengan pupuk kimia, pemberantasan hama dan penyakit dengan obat-obatan kimia. Pada tahun ini konsepsi untuk menanggulangi OPT ialah pendekatan UNILATERAL, yaitu menggunakan satu cara saja, PESTISIDA. 
Ketika itu pestisida sangat dipercaya sebagai “ASURANSI” keberhasilan produksi; tanpa pestisida produksi sulit atau tidak akan berhasil. Karena itu pestisida disubsidi sampai sekitar 80 % dari harganya, hingga petani dapat membelinya dengan harga “murah”. Sistem penyalurannyapun diatur sangat rapih dari pusat sampai ke daerah-daerah. Pestisida diaplikasikan menurut jadwal yang telah ditentukan, tidak memperhitungkan ada hama atau tidak. Pemikiran ketika itu ialah “melindungi” tanaman dari kemungkinan serangan hama. Promosi pestisida yang dilakukan oleh para pengusaha pestisida sangat gencar melalui demontrasi dan kampanye. Para petani diberi penyuluhan yang intensif, bahwa hama-hama harus diberantas dengan insektisida. Dalam perlombaan hasil intensifikasi, frekuensi penyemprotan dijadikan kriteria, makin banyak nyemprot, makin tinggi nilainya.

KONSEKUENSI LINGKUNGAN DARI PENGGUNAAN PESTISIDA
Ternyata, puncak kejayaan pestisida sekitar tahun 1984-1985 telah membawa dampak yang sangat dahsyat terhadap ekosistem yang ada. Meskipun penggunaan pestisida makin ditingkatkan , masalah hama-hama terutama wereng tidak dapat diatasi, malah makin mengganas. Kita tidak sadar, bahwa mengganasnya hama wereng tersebut akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Pestisida juga menimbulkam masalah lingkungan seperti matinya makhluk bukan sasaran (ikan, ular, katak, belut, bebek, ayam, cacing tanah dan serangga penyerbuk) dan musuh alami (predator, parasitoid), residu pestisida dalam bahan makanan, pencemaran air, tanah, udara dan keracunan pada manusia serta ongkos produksi yang sangat mahal dan sia-sia.

Gejala keracunan pada manusia yang timbul secara umum badan lemah atau lemas. Pada kulit, menyebabkan iritasi seperti terbakar, keringat berlebihan, noda. Pada mata, gatal, merah berair, kabur atau tidak jelas, bola mata mengecil atau membesar. Pengaruh pestisida pada sistem pencernaan seperti rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, liur berlebihan, mual, muntah, sakit perut dan diare. Sedang pada sistem syaraf, seperti sakit kepala, pusing, bingung, gelisah, otot berdenyut, berjalan terhuyung-huyung, bicara tak jelas, kejang-kejang tak sadar. Pada sistem pernafasan, batuk, sakit dada dan sesak nafas, kesulitan bernafas dan nafas bersuara.

Kenyataan ini mendorong pemerintah secara bertahap mengubah kebijakan pemberantasan hama dari pendekatan UNILATERAL ke pendekatan yang KOMPREHENSIF, berdasarkan prinsip-prinsip ekologis yang dikenal dengan PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT). Akhirnya tahun 1986, pemerintah melarang penggunaan 57 formulasi pestisida pada padi dan tahun 1996 melarang ke 57 formulasi tersebut pada semua tanaman dan tidak menerima lagi pendaftaran ulang bagi pestisida yang sudah berakhir masa berlakunya. Diantaranya DDT, Thiodan 35 EC, Nuvacron 150 WSC, Basudin 60 EC, Azodrin 15 WSC, dll. Larangan tersebut diikuti dengan pencabutan subsidi pestisida sekitar tahun 1989 sehingga harga melambung tinggi. Dukungan politik PHT dengan dikeluarkannya INPRES No. 3/1986 dan diperkuat dengan Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, khususnya pada pasal 20 tentang Sistem PHT dan pasal 21 tentang kegiatan perlindungan tanaman serta pasal 40 tentang larangan atau pembatasan penggunaan pestisida tertentu.

PHT adalah suatu cara pendekatan/cara berfikir/falsafah pengendalian hama didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam kerangka pengelolaan agroekosistem secara keseluruhan. Konsep PHT merupakan suatu konsep atau cara pendekatan pengendalian hama yang secara prinsip berbeda dengan konsep pengendalian hama konvensional yang selama ini sangata tergantung pada pestisida. Konsep ini timbul dan berkembang di seluruh dunia kerena kesadaran manusia terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat bagi lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Konsep PHT sangat selaras dengan pertanian berkelanjutan, yaitu pertanian yang memenuhi kebutuhan kini tanpa berdampak negative atas sumber daya fisik yang ada, sehingga tidak membahayakan kapasitas dan potensi pertanian masa depan untuk memuaskan aspirasi kebendaan dan lingkungan generasi mendatang. Dalam pertanian berkelanjutan mencakup konsep antara lain;
  1. Meminimumkan ketergantungan pada energi, mineral dan sumber daya kimiawi yang tidak terbarukan,
  2. Menurunkan pengaturan udara, air dan lahan di luar kawasan usaha tani,
  3. Harus mempertahankan kecukupan habitat bagi kehidupan alami,
  4. Konservasi sumber daya genetik dalam species tumbuhan dan hewan yang diperlukan pertanian,
  5. Sistem pertanian harus mampu mempertahankan produksi sepanjang waktu menghadapi tekanan-tekanan ekologi, sosial dan ekonomi, dan
  6. Kegiatan produksi jangan sampai menguras sumber daya terbarukan.

PESTISIDA DALAM PHT
Tentunya timbul pertanyaan, dimana letak pestisida dalam konsep PHT. Apakah Pestisida masih diperlukan ? Jawabannya masih diperlukan tetapi sangat selektif tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih tetap tinggi. Pestisida hanya diperlukan pada waktu mekanisme kesetimbangan ekosistem terganggu oleh sesuatu sebab yang mengakibatkan populasi hama meningkat sampai melalui ambang ekonomi. Selama populasi hama masih berada di bawah ambang ekonomi, maka penggunaan pestisida secara rasional ekonomik dianggap mendatangkan kerugian dan secara ekologik penggunaan pestisida pada aras tersebut akan mengganggu bekerjanya proses pengendalian alami.

Pengendalian alami adalah pengendalian hama yang terjadi di alam tanpa campur tangan manusia . Alam terdiri atas faktor fisik atau non hayati dan hayati dapat menjadi faktor pembatas perkembangbiakan hama. Faktor non hayati misalnya iklim, tanah dan air dari suatu habitat, udara beserta oksigen dan gas lain yang diperlukan bagi kehidupan hama, dapat mendorong atau menekan perkembangbiakan hama. Sementara itu, faktor hayati yang berupa musuh alami yang bekerja dengan sendirinya di alam menjadi bagian dari pengendalian alami. Kegiatan musuh alami juga ikut dipengaruhi faktor non hayati. Dengan demikian pengendalian alami merupakan gabungan kegiatan faktor hayati dan non hayati yang menekan perkembangbiakan haman tanpa campur tangan manusia dan jika dengan campur tangan manusia dinamakan pengendalian hayati.

Agar petani dapat memutuskan secara tepat kapan dan di mana penyemprotan harus dilakukan, maka mereka harus melakukan pengamatan rutin atau monitoring paling sedikit seminggu sekali. Yang diamati tentang keadaan populasi hama, populasi musuh alami, pertumbuhan tanaman, cuaca, dan lain-lainnya. Setelah petani mengadakan analisis terhadap data ekosistem yang terkumpul, dengan menggunakan pengertian tentang prinsip ekologi dan ekonomi yang sederhana, dengan penuh keyakinan petani dapat memutuskan perlu atau tidak digunakan pestisida.

Dengan mengelola lingkungan pertanian secara tepat melalui perpaduan berbagai teknologi pengendalian yang bukan pestisida, maka populasi hama selama satu musim tanam dapat diupayakan untuk selalu berada pada aras yang tidak mendatangkan kerugian ekonomik bagi petani. Dalam keadaan demikian tentunya petani tidak perlu lagi menggunakan pestisida dan cukup mempercayakan pengendalian hama kepada teman-teman petani yang berupa musuh alami yang ada di pertanaman. Apabila petani selalu memelihara kesehatan tanaman melalui budidaya tanaman yang tepat, maka sasaran produktivitas tinggi dapat dicapai dengan biaya pengendalian hama yang minimal.

SARAN DAN SOLUSI
Upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap input bahan kimiawi dalam proses produksi pertanian dapat ditempuh melalui gerakan pertanian organik. Gerakan ini mulai memasyarakat terutama di negara-negara maju yang masyarakatnya alergi dengan produk bahan kimia. Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menciptakan produk pertanian yang bersih, meliputi :
  1. Penggunaan varietas unggul tahan hama penyakit dan tekanan / hambatan lingkungan,
  2. Penerapan teknik budidaya yang mampu mengendalikan OPT dan penggunaan pupuk organik,
  3. Peramalan terhadap serangan hama penyakit,
  4. Pengendalian OPT secara biologis,
  5. Memacu penggunaan pestisida botani.
Perbaikan Teknik Budidaya
Penerapan teknik budidaya meliputi ; penataan pola tanam dan sistem tanam, dan pengaturan jarak tanam dan pemupukan dapat menekan perkembangan OPT. Pengaturan pola tanam dalam setahun (tumpang gilir) dengan tanaman yang berbeda OPT-nya, diharapkan dapat memutus siklus hidup dari OPT. Dengan bertanam secara campuran (mixed cropping) effisiensi lahan dapat ditingkatkan, resiko kegagalan dapat dikurangi, sehingga pendapatan petani dapat ditingkatkan.

Dari segi perkembangan OPT sistem tumpang sari sangat menguntungkan apabila tanaman yang ditumpangsarikan memiliki hama yang berbeda dan saling menguntungkan. Sebagai contoh tumpang sari kapas dengan jagung, di mana jagung berfungsi sebagai perangkap (trap crop) bagi hama Heliothis armigera dan kacang hijau dapat menarik predator bagi hama kapas.

Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos) sebagai pelengkap dan penyeimbang pupuk buatan, selain mensuplai unsur hara juga berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan kapasitas menahan air, sifat penyangga (buffer) tanah dan meningkatkan mikroorganisme dalam tanah yang berguna bagi tanaman.

Peramalan Terhadap Serangan Hama dan Penyakit
Peramalan terhadap serangan hama penyakit untuk mengetahui dinamika populasi HPT yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan cara pengendalian HPT. Pengendalian HPT berpedoman pada ambang kendali dimaksudkan untuk menentukan saat pengendalian HPT secara tepat, memberikan hasil yang maksimal dan menghemat penggunaan pestisida.

Pengendalian Hama Penyakit Secara Biologi
Secara alami tiap spesies memiliki musuh alami (predator, parasit, dan patogen) yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama tanaman. Peningkatan penggunaan pestisida hayati dengan bahan aktifnya jasad renik penyebab penyakit hama khususnya serangga akan mengurangi ketergantungan terhadap insektisida kimiawi. Sebagai contoh pestisida hayati dalam produk NASA adalah Natural BVR bahan aktif Beauveria bassiana. Natural GLIO bahan aktif Gliocladium dan Trichoderma, dan Natural VITURA bahan aktif Sl – NPV (Spodoptera litura – Nuclear Polyhidrosis Virus) dan Natural VIREXI.

Penggunaan Pestisida Botani

Pestisida botani atau pestisida alami bahan aktifnya berasal dari berbagai produk metabolik sekunder dalam tumbuhan. Misal Rotenon dari akar tuba (Derris eliptica) dan Azadarachtin dari Mimba (Azadirachta indica). Pestisida botani memiliki beberapa keunggulan yaitu tidak mencemari lingkungan, masa aktif residu lebih pendek, mudah dilaksanakan dan murah. Mekanisme kerja pestisida botani ini bersifat racun kontak, racun perut maupun bersifat sistemik. Pestisida botani berfungsi sebagai zat pembunuh, penolak, pengikat dan penghambat pertumbuhan OPT, misal PESTONA dan PENTANA.

Diambil dari blognya Wong Tani(http://wongtaniku.wordpress.com/2009/04/26/kajian-pestisida-terhadap-lingkungan-dan-kesehatan-serta-alternatif-solusinya/)

Minggu, 07 November 2010

Cara Pembesaran Ikan Lele Dumbo Di Kolam Terpal

A. Pendahuluan

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan yang termasuk dalam famili Claridae dan genus Clarias. Ikan lele dumbo ini merupakan ikan air tawar yang menyenangi air tenang. Spesies ini merupakan saudara dekat lele lokal (Clarias batrachus) yang selama ini dikenal, sehingga ciri-ciri marfologinya hampir sama. Ikan ini merupakan hasil perkawinan silang antara lele afrika dan lele Taiwan. (Khairuman dan Amri, 2002).

Ikan lele dumbo memiliki kecepatan tumbuh yang relative cepat yaitu umur 3 bulan pemeliharaan sudah layak panen.

Ikan lele dumbo memiliki prospek yang cukup baik, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya penjaja pecel lele di pinggir jalan, di pasar-pasar lokal selalu terdapat penjual lele dumbo yang kapasitas penjualannya lebih banyak disbanding ikan-ikan lain (hasil pengamatan di pasar RS).


B. Kolam Terpal

Kolam terpal adalah kolam yang dasarnya maupun sisi-sisi dindingnya dibuat dari terpal. Kolam terpal dapat mengatasi resiko-resiko yang terjadi pada kolam gali maupun kolam semen. Kolam karpet pertama kali dicoba dan diciptakan oleh Bapak Mujarob, seorang petani di pedesaan wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1999. Karpet yang dibutuhkan untuk membuat kolam ini adalah jenis terpal yang dibuat oleh pabrik dimana setiap sambungan terpal dipres sehingga tidak terjadi kebocoran. Ukuran terpal yang di sediakan oleh pabrik bermacam ukuran sesuai dengan besar kolam yang kita inginkan.

Pembuatan kolam terpal dapat dilakukan di pekarangan ataupun di halaman rumah. Lahan yang digunakan untuk kegiatan ini dapat berupa lahan yang belum dimanfaatkan atau lahan yang telah dimanfaatkan, tetapi kurang produktif.

Keuntungan lain dari kolam terpal adalah :

1. Terhindar dari pemangsaan ikan liar
2. Dilengkapi pengatur volume air yang bermanfaat untuk memudahkan pergantian air maupun panen. Selain itu untuk mempermudah penyesuaian ketinggian air sesuai dengan usia ikan.
3. Dapat dijadikan peluang usaha skala mikro dan makro,
4. Lele yang dihasilkan lebih berkualitas, lele terlihat tampak bersih, dan seragam.
C. Petunjuk Cara Awal Pengisian Air dan Bibit
Untuk mendapatkan lele yang berkualitas dan hasil yang memuaskan maka kondisi kolam harus disesuaikan dengan habitat yang disukai lele.

1. Langkah Pertama

Bagian dalam kolam terpal dicuci dengan kain atau sikat untuk menghilangkan bau lem atau zat kimia yang dapat mematikan bibit ikan. Setelah itu kolam dikeringkan selam satu hari, barulah kolam diisi dengan air setinggi 30 cm. Kedalaman tersebut sangat ideal bagi bibit yang sewaktu-waktu bergerak kepermukaan air. Air yang telah diisi dibiarkan selama seminggu.

2. Langkah kedua

Selanjutnya disiapkan bibit sebanyak 2000 ekor ukuran 3 – 5 cm. Untuk ukuran kolam 3 m x 4 m x 1 m. Pemakaian bibit sebaiknya ukuran yang telah memakan pellet butiran (F 999). Hal ini untuk mempermudah dalam pemeliharaan dan pemberian makan, agar tidak terjadi banyak kematian. Bibit yang baru dibeli (baru tiba) jangan langsung dimasukkan kedalam kolam Bibit yang ada dalam bungkusan plastic dimsukkan ke dalam ember kemudian ditambahkan air kolam sedikit demi sedikit, penambahan air tersebut dilakukan hingga 3 kali. Agar bibit lele dapat beradaptasi dengan suhu air di dalam kolam.


D. Perawatan Lele dumbo dalam Kolam Terpal

Perawatan ikan lele di kolam terpal pada umumnya tidak berbeda dengan perawatan di kolam lainnya. Beberapa perawatan lele yang perlu diperhatikan dalam kolam terpal adalah sebagai berikut :


1. Penambahan air dan Pergantian air
Bila air dalam kolam terpal berkurang karena proses penguapan maka tambahkan air hingga tinggi air kembali pada posisi normal. Penambahan air dilakukan dari tinggi air 30 cm hingga menjadi 80 cm. secara bertahap setiap bulannya (dalam sebulan air perlu ditambah 15 – 20 cm).

Pergantian air dilakukan saat air mulai tampak kotor (hal ini ditandai dengan ikan mulai menggantung). Pegantian air sampai umur 2 bulan biasanya dilakukan 2 kali. Kemudian di bulan ketiga dilakukan 2 minggu sekali (hal ini dilakukan karena pada bulan ketiga pemberian makan semakin banyak dan populasi ikan semakin padat). Pergantian air dengan cara membuka saluran pengeluaran (paralon) hingga air tinggal sedikit (hamper kering). Pada saat pergantian air biasanya dilakukan penyortiran dengan memisahkan ikan yang pertumbuhan sangat cepat.. Bila setelah pergantian air dilakukan beberapa hari kemudian air kelihatan coklat dan berbau anyir maka perlu dilakukan penambahan dan pengurangan air (sirkulasi air masuk dan keluar).


2. Pemberian Pakan
Pemberian pakan lele dumbo harus disesuaikan dengan besar mulut ikan. Pakan yang diberikan adalah pakan dari pabrik Untuk kegiatan pembesaran ikan maka pemberian pakan awal adalah f 999 sampai umur ikan 2 minggu, kemudian 781-2 sampai umur ikan 2 bulan dan 781 sampai umur ikan siap panen yaitu 3 bulan. Perbandingan hasil panen dengan pakan yang diberikan adalah 1 : 1 (konfersi pakan 1 kg menghasilkan 1 kg daging ikan). Bahkan ada petani yang konfersi pakannya 0,8 : 1 artinya 0,8 kg pakan menghasilkan 1 kg daging ikan.

Penekanan biaya pakan yang diberikan dapat dilakukan dengan cara memberikan pakan tambahan berupa usus ayam dan keong mas saat ikan berusia 1 bulan samapai 3 bulan.
Pemberian bangkai ayam atau usus ayam haruslah yang masih segar kemudian direbus lalu diberikan ikan . Sedangkan pemberian pakan keong mas dilakukan dengan cara merebus keong mas didinginkan dan kemudian dicungkil daging keong mas dengan lidi atau paku lalu diberikan pada ikan sesuai dengan kebutuhan.
Untuk memenuhi kebutuhan pakan lele dalam usaha makro, sebaiknya pakan pellet tersebut harus dibuat sendiri . Akhirnya dari uraian tentang pakan lele perlu digaris bawahi upaya yang harus dilakukan yaitu menekan pengeluaran biaya pembelian pakan untuk memaksimalkan perolehan hasil usaha.

E. Panen
Panen ikan lele dikolam terpal dapat dilakukan dengan cara panen sortir atau dengan panen sekaligus (semua).
Panen sortir adalah dengan memilih ikan yang sudah layak untuk dikonsumsi (dipasarkan) biasanya ukuran 5 samapai 10 ekor per kg. atau sesuai dengan keinginan pasar, kemudian ukuran yang kecil dipelihara kembali.
Panen sekaligus biasanya dengan menambah umur ikan agar ikan dapat dipanen semua dengan ukuran yang sesuai keinginan pasar.

Senin, 01 November 2010

Video Kesaksian Pengguna Pupuk Natural Nusantara

Video kesaksian Pengguna pupuk produksi Natural Nusantara untuk :

  • Tanaman Jagung


  • Karet


  • Kedelai


  • Semangka
  • Pupuk Nasa untuk Kolam Lele

  • Cabe

Kesaksian Kelapa Sawit Dengan NASA
 

Blogger news

Blogroll

About